Sehidup Semati memang mengangkat kisah yang seringkali jadi topik paling seru dalam obrolan: perselingkuhan dalam rumah tangga. Namun film yang dibintangi Laura Basuki ini punya warnanya sendiri.
Kisah yang sering ditemui dalam sinetron, serial, atau bahkan cerita di media sosial itu berbalut pemahaman patriarki yang masih ditemukan di sebagian masyarakat Indonesia pada 2024 ini.
Upi Avianto selaku sutradara dan penulis tampak benar-benar menggarap kisah yang begitu intens sehingga membuat saya bertanya-tanya, apa sebenarnya makna dari membangun rumah tangga terutama bagi perempuan.
Laura Basuki sebagai Renata menampilkan berbagai sakit yang mesti dirasakan hanya demi memegang teguh prinsip atas dasar agama dan pandangan kehidupan sosial terkait pernikahan: perkawinan semestinya hanya sekali, untuk sehidup dan semati.
Padahal, Renata mengalami kekerasan baik secara fisik maupun mental hanya demi memegang teguh ajaran dan konsep perkawinan yang diajarkan kepadanya sejak dulu.
Upi Avianto menampilkan ironi bahwa Renata terancam mati sendiri hanya karena sehidup bersama orang yang menikah dengannya.
Sehidup Semati: Upi Avianto selaku sutradara dan penulis tampak benar-benar menggarap kisah yang begitu intens. (dok. Starvision Plus via YouTube)
Hal itu yang kemudian menampilkan pertanyaan, apakah prinsip soal pernikahan dari sudut pandang agama dan norma sosial seperti yang dipegang Renata juga banyak orang lainnya masih relevan dalam kasus seperti ini.
Belum lagi masalah patriarki yang disorot Upi dalam kehidupan Renata, ketika perempuan sebagai istri ‘dipaksa’ tunduk kepada suami tanpa ada pertanyaan dalam kondisi apapun, hanya demi ‘keutuhan rumah tangga’.
Pilihan Redaksi
-
Review Film: Saltburn
-
Review Film: Monster
-
Review Film: Ancika, Dia yang Bersamaku 1995
-
Review Drama: Death’s Game
-
Review Film: Bu Tejo Sowan Jakarta
Masalahnya, perjuangan Renata dan mungkin banyak perempuan senasib lainnya di luar sana menghadapi cobaan ini malah tidak mendapatkan dukungan dari sekitar.
Renata dan mungkin banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga lainnya justru ditempatkan sebagai penyebab semua kekacauan itu terjadi, sebuah pandangan misoginis yang ironisnya masih ada dalam kehidupan modern.
Isu patriarki tak hanya dibawakan oleh karakter Edwin selaku suami Renata yang diperankan Ario Bayu. Upi juga menampilkan patriarki serta misoginis juga bisa muncul dari mereka yang berkostum pemuka agama, yang semestinya mengajarkan kebaikan dan kasih sayang Tuhan.
Sehidup Semati:Isu patriarki tak hanya dibawakan oleh karakter Edwin selaku suami Renata yang diperankan Ario Bayu. (dok. Starvision Plus via YouTube)
Sebagai perempuan, saya sejujurnya jadi agak takut dengan melihat kehidupan horor dalam rumah tangga seperti yang dijalani Renata. Apalagi di zaman sekarang acapkali ditemukan perempuan seperti Renata di kehidupan nyata.
Pilihan Redaksi
-
Review Serial: The Crown Season 6 – Part 2
-
Review Film: Renaissance, A Film By Beyonce
-
Review Film: Aquaman and the Lost Kingdom
-
Review Film: Hamka & Siti Raham Vol. 2
Terlepas dari itu, saya acungi jempol Laura Basuki yang memerankan Renata dengan apik. Aktris 36 tahun itu berhasil menunjukkan karakter istri yang merasakan penderitaan dalam rumah tangganya melalui gestur dan tatapan matanya.
Ditambah lagi, tampilan badan Laura yang terlihat kurus hingga sebagian tulang-tulang di tubuhnya terlihat jelas membuat karakter Renata semakin tampak ringkih dan penuh kepedihan.
Tak hanya Laura Basuki, Asmara Abigail juga menyita perhatian saya dalam film ini. Karakter Asmara yang ia perankan seolah menjadi pengantar pesan dalam film ini bagi perempuan untuk mengutamakan dirinya sendiri sebelum orang lain.
Saya sangat menyukai chemistry antara Renata dan Asmara yang karakternya sangat bertolak belakang. Renata yang polos dan lugu tampaknya memang harus memiliki teman seperti Asmara yang pemberani dan penuh kebebasan, atau yang sekarang biasa disebut cegil alias cewek ‘gila’.
Dialog-dialog yang diucapkan Asmara ke Renata yang cukup vulgar tapi realistis menjadi sentilan bagi saya sebagai sesama perempuan.
Misalnya “jangan jadi perempuan bego“, “laki-laki memang pengin istrinya nutupin seluruh tubuhnya, tapi suka sama pelacur yang seksi“, atau “lo itu cantik tapi terlalu lugu, jadi gampang dibodohi“.
Meski begitu, Sehidup Semati sbobet casino tak membuat saya puas sepenuhnya. Awalnya saya menikmati rasa penasaran dan deg-degan saat mengikuti perjalanan Renata mencari tahu rahasia suaminya. Namun, lama-lama saya merasa ada banyak adegan yang repetitif.
Misalnya adegan Renata kaget dengan bayangan perempuan dan mendengar senandung perempuan yang membuat jenuh. Ditambah lagi Sehidup Semati penuh plot twist yang membuat saya sedikit bingung dengan akhir ceritanya.
Hingga kemudian, sulit rasanya menilai dengan tegas akan seluruh sajian Sehidup Semati. Namun yang pasti, apa yang dibahas film ini patut rasanya dijadikan bahan diskusi baik bagi mereka yang sudah maupun belum menikah.